SURAT
APOSTOLIK
YANG DITERBITKAN SEBAGAI “MOTU PROPRIO”
“PINTU KEPADA IMAN”
( Porta Fidei )
DARI SANTO BAPA
BENEDIKTUS XVI
UNTUK MENCANANGKAN TAHUN IMAN
1. “Pintu
kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita ke
dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya.
Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya
dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu gerbang
itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Ia
mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah
sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang
memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang,
dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang percaya
kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22). Beriman kepada
Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang mahaesa
yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang dalam kepenuhan waktu
telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita, yakni Yesus Kristus, yang
melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang
membimbing Gereja mengarungi jaman sambil menantikan kedatangan Tuhan yang akan
datang kembali dalam kemuliaan.
2. Sejak mulai memangku jabatan
sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan
kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya ia dapat memberikan pencerahan
yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari
perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa
pentakhtaan saya sebagai Paus saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua
pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk
membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam
persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan
kehidupan yang berkelimpahan”.[1] Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih
menaruh perhatian kepada konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis
dari komitmen mereka, karena mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan
dengan sendirinya menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan
bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak
bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara
terang-terangan diingkari[2]. Sementara di masa lampau sangat mungkin orang
dapat mengenal kembali suatu matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang
secara luas diterima sebagai daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan
nilai-nilai yang lahir dari sana, tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak
terjadi lagi pada kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari
adanya krisis iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.
3. Kita tidak dapat menerima bahwa
garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat.
5:13-16). Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke
sumur, seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus mengundang kita untuk
percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar
dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa
sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diserah-alihkan kepada
Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan para
murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun ajaran Yesus masih tetap
bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa,
melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh.
6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih sama dengan pertanyaan
yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah yang harus kami
perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" (Yoh.
6:28). Maka percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti
kepada keselamatan.
4. Atas dasar itu semua maka saya
telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan
dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh
dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita
Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang
mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun yang
ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus
Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu
saya, Beato Yoahnes Paulus II[3], dengan maksud untuk memberikan kepada segenap
umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita.
Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah
diminta oleh Synode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan
sarana-bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam
kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik. Tambahan pula, tema dari Sidang Umum
Synode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 yang akan
datang ini adalah: “Evangelisasi Baru utuk Mentransmisikan Iman Kristiani”. Hal
itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar masuk segenap Gereja ke dalam
suasana refleksi yang khusus dan menemukan kembali iman-kepercayaannya. Ini bukan yang pertama
kalinya Gereja dipanggil untu merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya yang
Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1976, untuk
memperingati kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan semblan
belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat
Beliau iulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk menyatakan
“suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”.
Apalagi beliau menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi
maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara lahir
maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”[5]. Beliau
berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan
kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya,
memurnikannya, dan mengakuinya”[6]. Perayaan besar-besaran Tahun itu
semakin menunjukkan betapa umat memang membutuhkan perayaan semacam itu.
Upacara penutupannya dengan Pengakuan
Iman Umat Allah[7] dimaksudkan
untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama berabad-abad telah
membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu ditegaskan, dipahami
dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian iman itu menjadi
konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda sekali dengan yang dari
masa lampau
5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia
Pendahulu saya itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekwensi dan
kebutuhan dari masa pasca konsili”[8], sambil menyadari sepenuhnya tentang
kesukaran-kesukaran jaman yang serius, teristimewa yang berkaitan dengan
pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya yang benar. Menurut hemat saya
timing peluncuran Tahun Iman yang
bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II itu
akan memberikan kesempatan yang sangat bagus dalam membantu umat untuk
memahami, bahwa naskah dokumen yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili
itu, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”.
Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara
luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting
dan mengikat dari Magisterium Gereja
sendiri, semuanya di dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih
berkewajiban untuk menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Keduapuluh itu,
di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk dapat mengarungi abad yang
sekarang baru akan mulai itu”[9]. Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali
lagi, apa yang sudah saya katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah
saya terpilih sebagai Paus Pengganti Petrus: ”Apabila, kita, menafsirkan
dan mengimplementasikan Konsili itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang
benar, maka Konsili itu bisa dan akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan
Gereja yang senantiasa diperlukan itu”[10].
6.
Pembaruan Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh
hidup umat beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini, Umat
Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan
kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sedangkan Kristus, yang “suci,
tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor. 5:21),
melainkan dating hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih Ibr 2:17), Gereja
merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan
sekaligus harus selalu dibersihkan,serta terus-menerus menjalankan pertobatan
dan pembaharuan. Gereja “dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan
hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju, sambil mewartakan salib dan
wafat Tuhan ahingga
Ia datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang
telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam
maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia
mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan
pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh[11]. Dalam perspektif ini maka Tahun
Suci itu adalah suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik kembali
kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan
kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya kasih yang
menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan
dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, kasih ini memasukkan kita ke dalam
suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh
baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari
antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam
hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui iman-kepercayaan, hidup yang baru ini
membentuk seluruh keberadaan manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan
keadaan baru sebagai buah kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama,
maka pikiran dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi
sedikit akan dimurnikan dan ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang
tidak akan pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “hanya Iman yang
bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan
tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef.
4:20-29; 2Kor. 5:17).
7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang
memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk berevangelisasi. Sekarang ini,
seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk
memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui
kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya orang-orang dari segala
keturunan: dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja sambil mempercayakan kepada
Gereja itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada jaman
sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi suatu
evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan dalam
percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman itu, Dalam menemukan
kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, keseiap-sediaan untuk diutus dari
orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak akan pernah bisa
pudar. Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih
yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann
rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia
memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian
yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang
mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan
menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakannya,
“menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”[12]. Santo Uskup dari Hippo
itu memiliki alasan
yang sungguh tepat untuk mengungkapkan
dirinya seperti itu, karena
sebagaimana kita tahu, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan
keindahan iman-kepercayaan itu sampai saat ketika hatinya menemukan
istirahat dalam Allah[13]. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana
Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan dan tentang
kebenaran iman, sampai sekarang tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang
tiada taranya, dan tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari
Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”.
Karena itu, hanya
melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan
lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang,
selain dari pada meninggalkan diri sendiri dalam suatu crescendo yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih
yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena memang bersal dari Allah.
8. Pada
kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya
para Uskup dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti Petrus
selama masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan kepada
kita ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak
merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan tentang
iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk
mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan
diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam
seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat
kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di
gereja-gereja katedral
kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan
di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa
perlunya pemahaman yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada
generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas
paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru,
semuanya harus menemukan cara untuk, sepanjang Tahun itu, mengakui secara
publik Credo kita.
9. Pada tahun
ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman-keprcayaannya dalam
kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun
itu akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa
di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja
diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu … mengalir”[14]. Pada saat yang sama, kita berdoa juga
agar kesaksian hidup umat beriman
semakin dapat dipercaya. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui,
dirayakan, dihayati dan didoakan[15], dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah
tugas yang setiap umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman
ini. Bukan tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk
menghafalkan pengkuan iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu
berfungsi sebagai doa mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen
yang telah mereka ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat
dengan makna, Santo
Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang
“penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari misteri-misteri
kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada hari ini telah
kalian ucapkan kembali satu demi satu
itu, adalah kata-kata di atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja
didirikan dengan kokoh, pada landasan yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan
sendiri. Kalian telah menerimanya, namun alian harus tetap memeliharanya di
dalam akal-budi dan hati-sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya
di ranjang tempat tidur kalian, tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak
melupakannya sementara kalian makan-makan, bahkan ketika kalian sedang
tidurpun, kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian”[16].
10. Di sini saya ingin memberikan
suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan untuk membantu kita
memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan iman-kepercayaan itu,
melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk mempercayakan diri kita
sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya
memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan dengan mana kita beriman dan
muatan isi, kepadanya kita memberikan kesepakatan kita. Santo Paulus membantu
kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan
dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati
itulah yang menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seorang percaya
adalah anugerah dari Allah dan tindakan rakhmat yang bergiat dan mengubah
seseorang dari dalam.
Dalam kaitan ini secara khusus contoh
dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa ketika
berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil kepada
beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga
ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di dalam
ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan,
bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah mencukupi, apabila
hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang, tidak turut dibuka
oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada di bawah permukaan dan
mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah Sabda Allah sendiri.
“Pengakuan dengan bibir” itu pada
gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian
“kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah
boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti
memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia juga.
“Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan
mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan, justru karena dia adalah suatu
tindakan yang bebas, juga menuntut pertanggungjawaban social aats apa yang
diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya
dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan tanpa takut
iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh Kuduslah yang telah
membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian kita serta
menjadikannya terus-terang dan berani.
Pengakuan iman adalah suatu tindakan
yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri, tetapi juga secara
berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya pertama-tama menjadi
subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari komunitas kristiani,
setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda yang effektif masuknya
ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja Katolik, kita membaca: "Aku percaya", itulah iman Gereja,
sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu
Pembaptisan. "Kami percaya" itulah iman Gereja, sebagaimana
para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui,
atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. "Aku
percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah
melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: "aku percaya",
"kami percaya"[17].
Jelas sekali, bahwa pengetahuan akan
isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan
persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap
akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja. Pengetahuan
akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri karya
penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita berikan itu
berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh
misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah
sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita mengetahui
misteri cinta-kasih-Nya [18].
11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada isi iman-kepercayaan
itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga
dan taktergantikan. Dokumen itu dalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi
Apostolik Fidei Drpositum, yang
ditandatangani, bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke
tiga-puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis:
”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya
pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi
dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”[21].
Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha
terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi muatan fundamental
dair iman-kepercayaan yang sekarang disintesekan secara sistematis dan secara
organis di dalam Katekismus Gereja
Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah
diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah
keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para
pakar teologi sampai ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus ini memberikan
rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk
merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan demikian
kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.
Dalam strukturnya yang seperti itu Katekismus
Gereja Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada
tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman,
kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan
tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam
Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana
Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan
efikasitasnya, sebab dia akan kehilangan rakhmat yang mendukung kesaksiannya
secara Krisriani. Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismus ini tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang
penuh, apabila memang ditempatkan dalam keterikatannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.
12. Maka dari itu dalam Tahun Iman itu nanti, Katekismus
Gereja Katolik itu akan
dipergunakan sebagai sarana bantu untuk memberikan dukungan yang nyata bagi
iman-kepercayaan, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembinaan umat
kristiani, yang berada dalam saat sangat krusial dalam konteks budaya kita.
Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi
Untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan
Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk mempersiapkan sebuah Nota, yang akan memberikan arahan-arahan
kepada umat beriman Gereja dan perseorangan tentang bagaimana harus menghayati
Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan se-tepat mungkin bagi kepentingan
iman-kepercayaan dan pewartaan.
Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman
dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang
sudah berubah, yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional
diberi pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi.
Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa
tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya,
kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kepada kebenaran[22].
13. Satu hal yang akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila
kita menelusuri sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang
takterkatakan dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang
pertama menyoroti kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau
perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup
mereka, yang kedua harus menantang dari setiap orang suatu kerja yang
tulus dan berlanjut dari pertobatan untuk mengalami belas-kasih Bapa, yang
dtawarkan kepada semua orang,
Selama waktu itu kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang
membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di dalam Dia, semua
kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya.
Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan
dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan
hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan kepenuhannya di dalam
misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil-bagian
di dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu ditransformasikan-Nya
melalui kekuatan dari kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah mati lalu
bangkit kembali demi keselamatan kita itu, contoh teladan iman-kepercayaan yang
telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini mendapatkan
pencerahan yang sepenuh-penuhnya.
Dengan iman, Maria menerima
kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi Bunda Allah
dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika mengunjungi Elizabet,
dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya ajaib yang
telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya
(bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan kegentaran dai melahirkan anaknya yang
tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil
tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk
menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan
yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya
sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan iman-kepercayaannya, Maria
mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap menyimpan setiap kenangan
di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas
Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis,
114-2:1-4).
Dengan iman, para rasul telah
meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat. 10:28). Mereka
percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan Allah yang telah
datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka hidup dalam
persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, dengan
mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan mana mereka akan dikenal
sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34-35). Dengan iman,
mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Kabar
Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan tanpa takut mereka
mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, tentangnya mereka adalah
saksi-saksinya yang setia.
Dengan iman, para murid membentuk
komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para rasul, di dalam
doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai
milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara
(bdk. Kis. 2:42-47).
Dengan iman, para martir menyerahkan
hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran Injil yang telah mengubah
hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan anugerah terbesar dari
cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya mereka.
Dengan iman, pria dan wanita telah
membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil meninggalkan segala sesuatu,
untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan
injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka akan kedatangan Tuhan yang
tidak akan tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya orang kristiani telah
memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan
sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari semua penindasan dan
mewartakan kedatangan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk.
4:18-19).
Dengan iman, sepanjang abad-abad,
pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab
Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal mengikuti Tuhan
Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada kenyataan, bahwa
mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam
kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan pelayanan yang menjadi
panggilan hdiup mereka.
Dengan iman, kita juga hidup: sambil
menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita
dan sejarah kita.
14. Tahun Iman itu juga akan menjadi
stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal-kasih,
sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita: “Demikianlah tinggal
ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di
antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan kata-kata yang lebih kuat,
‒yang senantiasa telah menempatkan orang Kristiani di bawah kewajiban,‒
Santo Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang
mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan?
Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak
mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara
kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai
kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi
tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu
tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi
mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada
perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu
tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari
perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).
Iman tanpa kasih tidak akan
menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan
yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling
membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan yang
lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang
kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang tersendiri, yang
termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi mereka yang
pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk
dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah
Kristus sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di
dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu
telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi
peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap
bagi kita untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan
kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang
mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita
jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang
kepada komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan “surga baru dan dunia
baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).
15. Ketika sampai pada akhir
hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih.
2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (bdk. 2Tim.
3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada masing-masing kita,
supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Iman yang
menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu untuk memahami,
setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan bagi kita. Sambil
senantiasa peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam sejarah kita
di masa sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri menjadi tanda
dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus
dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya
dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh
sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain
untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.
“Supaya firman Tuhan beroleh
kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan
kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena hanya di dalam
Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan dari kasih yang
sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini akan dapat memberikan
seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini: “Bergembiralah akan hal itu,
sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai
pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang
jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya
dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan
pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah
melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu
sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang
tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan
jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita
maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di
dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini, dicoai
oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar suara-Nya
yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang membantu
kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam penderitaan
Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan
harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor.
12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah
mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti ini kita
mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah kita,
mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang
nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda dari
rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.
Marilah kita mempercayakan saat
rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang “berbahagialah ia,
yang telah percaya“ (Luk. 1:45)
Dikeluarkan di Roma, dari Basilika
Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh.
BENEDIKTUS XVI, PAUS